JAKARTA - Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), M Fanshurullah Asa, menekankan pentingnya reformasi hukum persaingan di tengah transformasi ekonomi digital dan era algoritma.
Menurutnya, regulasi saat ini harus mampu mendeteksi potensi monopoli sebelum pasar terdistorsi, sehingga mekanisme persaingan dapat berjalan sehat.
“Kebijakan pemerintah dan undang-undang persaingan usaha harus mampu mendeteksi potensi monopoli sebelum pasar terdistorsi,” ujar Fanshurullah.
Transformasi digital telah mengubah lanskap ekonomi secara fundamental. Tidak hanya mempengaruhi cara transaksi, namun juga struktur pasar tradisional yang selama ini dikenal. Kekuatan jaringan (network effects), akumulasi data raksasa, dan keputusan berbasis algoritma menimbulkan hambatan masuk yang sulit ditembus, terutama bagi UMKM.
“Kekuatan jaringan (network effects), akumulasi data raksasa, dan pengambilan keputusan berbasis algoritma telah menciptakan hambatan masuk (entry barriers) yang sulit ditembus oleh pesaing baru, terutama UMKM,” tambahnya.
Regulasi Tertinggal di Belakang Teknologi
Fanshurullah mengakui bahwa regulasi kerap tertinggal satu langkah di belakang teknologi yang terus berkembang. Bentuk dominasi baru seperti self-preferencing, yaitu mengutamakan produk sendiri di platform miliknya, hingga algorithmic tacit collusion, yakni kesepakatan harga diam-diam oleh mesin, membutuhkan pendekatan hukum yang lebih proaktif.
“Pendekatan reaktif berbasis kasus (case-by-case) harus bertransformasi menjadi pendekatan proaktif berbasis risiko (risk-based standard),” jelasnya.
Pendekatan berbasis risiko ini diharapkan mampu mengantisipasi distorsi pasar sebelum terjadi kerugian luas, serta memastikan UMKM tetap mendapatkan akses yang adil di pasar digital. Transformasi paradigma hukum menjadi kunci untuk menghadapi kompleksitas pasar digital yang semakin global dan dinamis.
Penyelarasan Regulasi Internasional
Tidak hanya reformasi hukum domestik, Fanshurullah menekankan perlunya penyelarasan regulasi internasional. Pasar digital bersifat tanpa batas negara (borderless), sehingga merger lintas negara, akuisisi strategis atas data, dan pergerakan talenta digital menuntut Indonesia berbicara dalam bahasa regulasi global.
“Merger lintas negara dan akuisisi strategis atas data serta talenta digital menuntut kita berbicara dalam bahasa regulasi yang sama dengan komunitas global,” ujarnya.
Sebagai negara yang sedang dalam proses aksesi OECD dan anggota baru BRICS, Indonesia perlu menyelaraskan standar mulai dari interoperabilitas sistem hingga rezim notifikasi merger. Fanshurullah menekankan bahwa langkah ini akan menghindarkan Indonesia dari eksperimen kebijakan yang mahal dan memungkinkan langsung mengadopsi praktik terbaik global.
“Ini agar Indonesia tidak mengulangi eksperimen kebijakan yang mahal, melainkan langsung melompat mengadopsi praktik terbaik global,” tegasnya.
Evolusi Penegakan Hukum Berbasis Data
Selain reformasi regulasi dan penyelarasan internasional, KPPU juga menyoroti perlunya evolusi penegakan hukum. Pemanfaatan forensik digital dan kecerdasan buatan (AI) dinilai efektif untuk mendeteksi praktik curang seperti bid-rigging dalam pengadaan publik. Langkah ini diharapkan membuat pengawasan lebih cepat, tepat, dan berbasis data.
“Serta perlindungan UMKM dari kontrak yang tidak seimbang di ekosistem platform, menjadi prioritas yang tak bisa ditawar. Penegakan hukum harus tajam dan berbasis data,” jelas Fanshurullah.
Dengan penegakan hukum berbasis teknologi, praktik monopoli atau penyalahgunaan kekuatan pasar dapat diminimalkan. UMKM yang sebelumnya sulit bersaing di platform digital besar dapat terlindungi, sekaligus mendorong inovasi dalam ekosistem ekonomi digital.
Forum 3JICF Dorong Pasar Kompetitif dan Inovatif
Forum The 3rd Jakarta International Competition Forum (3JICF) mengusung tema “Legal Reform, International Alignment & Enforcement Evolution”.
Forum ini diharapkan menjadi wadah untuk membahas strategi reformasi hukum, penyelarasan regulasi, dan evolusi penegakan hukum, sehingga tercipta pasar yang lebih kompetitif dan mendorong inovasi.
Fanshurullah menekankan bahwa pasar yang dapat diperebutkan (contestable market) akan memperkuat ketahanan ekosistem ekonomi, memacu pertumbuhan UMKM, serta memastikan dominasi pasar oleh entitas besar tidak merugikan kepentingan publik.
Reformasi hukum persaingan usaha yang tepat dan proaktif menjadi fondasi untuk menghadapi tantangan digital di masa depan.
Forum ini juga menjadi kesempatan bagi pembuat kebijakan, praktisi hukum, akademisi, dan pemangku kepentingan untuk berdiskusi mengenai praktik terbaik global, risiko distorsi pasar, dan perlindungan UMKM.
Dengan kolaborasi dan adaptasi regulasi yang cepat, Indonesia diharapkan mampu mengelola transformasi ekonomi digital secara efektif, menjadikan hukum persaingan sebagai instrumen kunci bagi pembangunan ekonomi inklusif dan berkelanjutan.